Sunday, May 30, 2010

astaghfirullahal'azim..gersangnya hati ini..


Oleh: Ustadz Rahmat Abdullah (Allahumma irhamhu!)




Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.

Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.


Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang Allah berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan Allah atasmu.


Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudhu' di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.


Al-Shiddiq Abu Bakar R.A. selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka," ucapnya lirih.


Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dan kata. Di mana kau letakkan dirimu?

Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.


Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat obyek maksiat menggodamu dan engkau menikmatinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada Allah, di mana kau kubur dia?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung.


Ini potret negerimu: Seramai 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25% mengaku telah berzina dan hampir separuhnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Dan masyarakat memanjakan mereka, karena "mereka masih di bawah usia".

Mungkin engkau mulai berfikir, "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktivis perempuan --bila engkau laki-laki atau sebaliknya-- di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kau perlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh." Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.


Ke mana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat?"

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat percaya kepada ustadzmu yang mengatakan, "Jika Allah melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat?"

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang, "Ini tidak islami!" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada Allah di sana?


Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justru engkau dihadang tantangan; sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga di depan ribuan massa.

Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan dan kebencian orang walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Kau tak mampu melawan berontak hatimu untuk tidak makan berdiri di tengah suatu resepsi mewah. Berbisiklah syaitanmu, "Jika kau duduk di lantai atau di kursi malam ini citra dakwah akan ternoda." Seakan engkau-lah pemilik dakwah ini.


Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter. Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitnya telah salah melangkah lebih dulu.


Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"-nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi, lalu dengan enteng mengatakan, "Itu maharku, Allah waliku dan malaikat itu saksiku," dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang dainya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan, "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam seperti ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua." Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alim al-lisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktivitas dakwahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang nmenyihir? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Semoga ini tak terjadi pada dirimu, karena kafilah yang pernah berlalu tak sunyi dari peruntuh bangunan yang dibina dengan susah payah.


Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mall. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "western-nya".


Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu dengan perasaan, "Lihatlah, betapa Amerikanya aku." Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.


Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan kain tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur di sana. Bila ia minta bangsanya mendongakkan kepala dengan bangga, maka 300 juta bangsa India akan tegak, walaupun tulang punggung mereka tak kuat lagi berdiri karena lapar dan kurang gizi.


Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang aksesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk di sana. "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku?"